Selasa, 25 Agustus 2009

Meriset bukan Sekedar Soal Dana, tapi Mental

Demi menambal biaya penelitian, para ilmuwan kita di sini harus jungkir balik. Ada yang patungan mendirikan kedai sate

Berbongkah batu alam tergeletak di dalam kardus di ruangan yang tak terlalu luas itu. Serbuk silika berwarna kuning, pasir besi, beberapa alat pemotong besi, dan pemisah magnet tampak berserakan di lantai berlapis kayu.

“Beginilah kalau sedang bekerja, berantakan,” ujar Dr Nurul Taufiqurochman, MEng, Jumat malam lalu. Di ruang berukuran 5 x 8 meter itulah peneliti fisika di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Puspiptek Serpong, Tangerang, ini melakukan riset teknologi nano.

Ruangan yang terletak di lantai dua Pusat Penelitian Fisika LIPI itu nyaris seperti kapal pecah. Sejumlah diktat dan proposal berserakan di atas meja. Beberapa unit komputer serta alat-alat eksperimen rakitan Nurul dan delapan stafnya juga belum dibereskan.

Malam itu, pria lulusan Kagoshima University, Jepang, ini menunjukkan kehebatan pemisah magnet temuannya. Nurul tak perlu terbang jauh ke luar negeri untuk membeli komponen alat itu karena tersedia di Glodok, Jakarta Barat.

Nurul memasukkan sejumput pasir besi ke alat tersebut. Setelah diputar, pasir yang mengandung besi oksida turun dan yang tak mengandung besi oksida menempel pada lempengan karet yang melengkung ke bawah.

Dari serbuk pasir yang telah dinanokan itu bisa dibentuk batangan besi dan tabung besi. Menurut Nurul, pasir besi sangat mudah dicari. “Sekilo paling cuma Rp 250. Kalau sudah dinanokan, bisa mencapai Rp 1 juta. Ini peluang bisnis untuk mengolah kekayaan alam Indonesia,” ujarnya.

Teknologi nano yang sederhana dan pengolahan yang tak rumit membuat pasir besi selanjutnya bisa diolah menjadi tinta printer seharga Rp 250 ribu.

Kekayaan alam Indonesia yang melimpah itulah yang membuat Nurul pulang kampung setelah 15 tahun kuliah dan bekerja di Negeri Sakura. Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 5 Agustus 1970, itu menyelesaikan S1-S3 teknik mesin di Kagoshima University atas biaya Habibie Center.

“Saya gemes banget. Apa yang mungkin orang lain tidak lakukan, saya bisa kerjakan. Makanya saya ingin di bengkel ini mestinya juga lahir Apollo berteknologi nano,” katanya seraya menunjuk sejumlah mesin.

Peraih Ganesha Widya Jasa Adiutama Award dari Institut Teknologi Bandung pada 2009 itu bersemangat menciptakan alat-alat baru berteknologi nano yang belum ada di dunia dari kekayaan alam Indonesia. “Di tangan saya dan tim, alat semacam ini harganya cuma Rp 5 sampai Rp 20 juta.” ujar Nurul sembari memperlihatkan milling gerak elips 3 dimensi yang difungsikan sebagai penghancur partikel nano.

Alat itu telah dipesan sebuah universitas di Malaysia. “Alat ini tidak ada duanya di dunia. Kalau yang sudah ada keluaran luar negeri hanya mengocok, namun kalau bikinan saya nggak hanya mengocok, tapi juga berputar.”

Tak banyak orang awam yang akrab dengan teknologi nano. Nanometer artinya satu per satu miliar meter. Sesuai dengan namanya, teknologi ini berkaitan dengan penciptaan benda-benda kecil, yang mencakup pengembangan teknologi dalam skala nanometer, biasanya 0,1 sampai 100 nanometer. Satu nanometer sama dengan sepersejuta milimeter.

Ayah enam anak ini yakin, dengan teknologi nano, bukan tak mungkin bebatuan alam diubah menjadi intan, berlian, dan logam. Untuk mengolah kekayaan alam menjadi sesuatu yang lebih dahsyat, Nurul yang di Jepang dikenal sebagai doktor bidang rekayasa material itu membentuk komunitas Masyarakat Nano Indonesia dan ia menjadi ketuanya.

Nurul juga dikenal sebagai sebagai penemu teknologi eliminasi kandungan timbel (Pb) pada logam kuningan melalui daur ulang. Teknologi yang dipatenkan di Jepang pada Mei 2003 itu membuat jutaan meter kubik limbah kuningan di Jepang menjadi barang berharga lagi.

Dengan segudang prestasi, ia sebenarnya bisa hidup mapan di Jepang. Namun, setelah menyelesaikan program doktor pada 2000, Nurul yang pernah setahun bekerja di perusahaan pipa, shower, dan aksesori kamar mandi Kyusutabuchi–memilih pulang ke Indonesia. Ia menolak tawaran menjadi pegawai di Jepang dengan gaji besar.

“Dulu, ketika saya masuk LIPI, hanya ada meja dan kursi. Lalu saya membuat alat sendiri. Sekarang ruangan sudah penuh dengan alat, sekitar sembilan sudah saya patenkan atas nama LIPI dan menyusul tiga lainnya nanti.”

Kini peraih predikat doktor cum laude itu masih mengembangkan nanosilika sejak 2004. Nanosilika ini sudah dipatenkan di Indonesia atas namanya pada Juli 2006. “Nanosilika bila dicampur dengan adonan semen dapat memperkuat beton dua kali lipat.”

Ia juga telah mematenkan alat peraga nano-edu pada Juni 2006. Jepang sudah membelinya 300 unit. Selain meneliti, Nurul dan kawan-kawan di komunitas Masyarakat Nano Indonesia membuka Bamboo Futsal, lapangan futsal di Jalan Raya Serpong, tak jauh dari kantornya. Malam itu Nurul dan istrinya mengajak mencicipi bakso di Resto Bamboo.

“Di sini kadang ide mengalir. Kami berdiskusi. Seusai main futsal, lalu makan bersama,” kata Nurul, yang melengkapi lapangan indoor itu dengan kedai makanan, seperti sate dan bakso semut Singosari racikan adiknya dari Malang, serta kedai minuman.

Nurul enggan menyebutkan omzet lapangan futsal itu dan berapa dana yang mengalir untuk bisnis teknologi nano. “Memang ada sebagian dari sini (usaha futsal) untuk pengembangan bisnis inkubasi nano partikel.”

Prestasi Nurul rupanya dilirik oleh Arab Saudi. Melalui surat, Raja Arab Saudi menawarinya bekerja mengembangkan teknologi nano di negeri kaya minyak itu. “Gajinya Rp 45 juta setiap bulan, tapi saya masih cinta Indonesia.”

Peneliti di bidang biomolekuler, Arief Budi Witarto, juga bekerja di ruangan sempit. Dalam tujuh tahun terakhir, ia berkutat di ruangan 4 x 5 meter di samping rumahnya di Kampung Sugutama, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat.

Sejumlah peralatan, seperti tabung ukur, tabung nitrogen, mikroskop, bahkan sebuah lemari es dua pintu untuk menyimpan bahan penelitian, menyesaki ruangan. Di dinding ruangan tergantung berbagai penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri. Sejumlah kliping wawancara Arief dengan sejumlah media tampak berebut tempat dengan alat-alat penelitian.

Tak ada alat penyejuk ruangan. Untuk menghindari terpaan sinar matahari, bagian depan bangunan ditutup dengan kerai bambu. Karena keterbatasan fasilitas, ia kerap harus menyewa laboratorium untuk penelitian karena ada bagian dari penelitian yang mesti memanfaatkan reaktor nuklir.

Arief belajar bioteknologi dari S-1 hingga S-3 di jurusan bioteknologi, Fakultas Teknik, Tokyo University of Agriculture and Technology, Tokyo, Jepang, pada 1991-2000.

Selama kuliah di Jepang, indeks prestasi kumulatifnya (IPK) memuaskan, yakni 3,54 (S-1), 3,89 (S-2), dan 4,00 (S-3). Dengan prestasi akademiknya itu, ia mendapatkan beasiswa dari berbagai lembaga, yakni Kementerian Riset dan Teknologi (S-1), Iwaki Glass Jepang (S-2), serta Ultizyme International Jepang dan Menteri Riset dan Teknologi (S-3).

Setelah lulus S-3 pada 2000, Arief menjadi research associate di School of Materials Science, Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST), Ishikawa. Namun, ia memutuskan pulang karena ingin mengembangkan ilmu bioteknologi-rekayasa protein yang masih sangat jarang di Indonesia pada 2002. Ia memilih bekerja di LIPI.

Selama di Indonesia, pria kelahiran Lahat, Sumatera Utara, 12 Mei 1971, itu sempat menjadi peneliti tamu di perusahaan bioteknologi enzim, Ultizyme International, Tokyo, pada 2004. Tiga tahun kemudian, ia menjadi peneliti tamu di Fraunhofer Institute for Molecular Biology and Applied Ecology, Aachen, Jerman.

Dengan latar belakang pendidikan dan profesi cemerlang, ia menggaet sejumlah penghargaan, di antaranya Peneliti Muda Indonesia Terbaik Bidang Ilmu Pengetahuan, Teknik, dan Rekayasa dari LIPI (2002); Satya Lencana Karya Satya 10 Tahun dari Presiden RI (2003); dan Technopreneur Award dari Fraunhofer Society dan German Academic Exchange Service, Jerman (2007). “Hadiah dari penghargaan-penghargaan itu saya tabung untuk mendanai riset sekarang,” kata Arief, yang tak menyesal pulang kampung.

Di Indonesia, Arief bisa melakukan penelitian sendiri. Obyek penelitian melimpah. Sayangnya, orang Indonesia kurang menghargai keahlian seseorang. Menurut dia, prestasi internasional tak menjamin seseorang bisa mendapatkan dana penelitian sehingga tak mendorong peneliti berprestasi yang sebenarnya. “Sering kali dana penelitian diberikan karena faktor kedekatan dengan penilai.”

Untuk mendanai risetnya, ia membantu penelitian di perguruan tinggi, menjadi konsultan pendidikan dan penelitian di perguruan tinggi serta lembaga penelitian. “Jadi tidak ada perasaan gengsi,” kata Arief, yang ingin kembali ke Jepang untuk menyegarkan pengetahuan dan keahlian terbaru.

Pada 2002-2007, Arief meneliti molecular farming produksi protein rekombinan untuk farmasi, terutama tembakau dan tanaman kantong semar. Selama periode ini, ia mendapatkan dana penelitian dari pemerintah lewat LIPI dan Menteri Riset dan Teknologi.

Sejak 2007, ia meneliti nano-bioteknologi pada virus demam berdarah untuk pengembangan vaksin dan obat demam berdarah. Salah satu penelitian didanai perusahaan bioteknologi Australia dan sudah dipresentasikan di Brisbane, Australia.

Ia melanjutkan penelitian itu dengan mengajukan proposal ke LIPI dan Menteri Riset dan Teknologi, tapi ditolak. Ia pun mendanai riset dari kocek sendiri dibantu fasilitas dan peneliti dari Litbang Departemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan Batan. “Alhamdulillah, bulan Agustus 2009 ini hasilnya mendapat perhatian dunia dan diundang untuk presentasi di Sydney, Australia.”

Tak mudah bagi Arief untuk menjalankan risetnya. Karena keterbatasan dukungan fasilitas laboratorium, ia melakukan penelitian di tempat lain dengan meninggalkan jam kerja. “Terancam sanksi disiplin kehadiran fisik di kantor yang minim, walaupun hasil penelitian tetap dipublikasikan dengan nama LIPI. Dilakukan di luar kantor karena di dalam kantor tidak ada pekerjaan. (Proposal) dana ditolak,” kata Arief, yang sangat yakin Indonesia memiliki potensi besar di bidang biomolekuler.

Dibanding ruangan Arief, ruang tempat Gunawan Setyo Prabowo–seorang peneliti satelit–lebih representatif. Bangunan berlantai dua di lingkungan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) di Jalan Cagak Satelit, Rancabungur, Kabupaten Bogor, itu terdiri atas empat ruangan. “Yang ini ruang steril, harus bebas dari debu,” kata Gunawan menunjukkan salah satu ruangan di lantai dua.

Setiap ruangan rata-rata berukuran 6 x 7 meter. Sejumlah penghargaan dan poster desain satelit yang tengah dirakitnya menghiasi dinding ruangan laboratorium.

Master dalam bidang teknik elektro dari Universitas Indonesia pada 2002 itu juga harus menghadapi kendala dalam penelitian, seperti sumber daya manusia Indonesia belum siap bekerja dengan sistem yang baik serta lemahnya dukungan infrastruktur. “Metode, peralatan, penghargaan yang kurang, koordinasi, dan banyak hal,” kata pria yang menyelesaikan S-1 jurusan fisika di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.

Untuk menekan biaya riset, pria kelahiran Wonosobo, 24 Juli 1967, ini bersama timnya mencoba membuat alat sendiri, tapi belum pernah diuji terbang. “Dengan melakukan proses produksi sendiri, biaya menjadi sangat murah,” kata Gunawan, yang menjabat Kepala Bidang Instrumentasi Wahana Dirgantara Lapan sejak April 2009.

* Dinukil dari Harian Koran Tempo Edisi 16 Agustus 2009, “Mendanai Riset dari Kerja Serabutan”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar