Senin, 31 Agustus 2009

Sikap Kanak-kanak Menghadapi Malaysia

Oleh: Farid Gaban
________________________________________

Amarah kepada Malaysia berkaitan dengan "pencurian" khazanah seni dan budaya Indonesia hanya mempertontonkan sikap kanak-kanak kita sebagai bangsa. Emosi menggelegak atas kasus Manohara dan sengketa Ambalat, misalnya, hanya menegaskan sikap rendah diri kita. Dan ini bukan sekali-dua berlangsung. Narsisisme berlebihan dibarengi kecintaan semu belaka pada hal-hal yang menyangkut identitas tradisional dan lokal negeri yang beragam ini tidak akan menolong.
Kita sendiri kurang peduli kepada khazanah kekayaan alam dan budaya. Menjelajahi Sumatera selama dua bulan lebih, sebagai bagian dari Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa, saya menyaksikan banyak pulau tak terurus, khazanah seni budaya tradisional punah perlahan-lahan dalam sunyi, serta sejarah yang hilang jejak tanpa bekas ditelan ketidakpedulian.
Pulau Enggano, pulau terluar di Samudra Hindia, hanya dijaga tiga serdadu rendahan tanpa pekerjaan jelas. Jejak Portugis, yang pertama kali menemukan pulau ini yang menyebutnya sebagai "pulau keliru" dalam bahasa mereka (enggano), tak lagi bisa ditemukan. Budaya lokal hampir punah dihantui kemiskinan kronis. Pertanian muram, nelayan tidak lagi menemukan ikan.
Saya hampir tidak bisa lagi menemukan jejak sejarah Barus, Sumatera Utara, kota pelabuhan tua yang namanya harum dalam catatan perjalanan pengelana legendaris Marcopolo dan Ibnu Battuta. Terkenal dengan kapur barusnya, dia juga merupakan salah satu pintu masuk agama Islam di Indonesia. Barus, atau fanzur dalam bahasa Arab, terabadikan dalam nama pujangga sufi terkenal Hamzah Fanzuri yang lahir di sini. Tapi, sekarang di dekat Lobo Tua (kota tua), Makam Mahligai di perbukitan, makam para bangsawan, saudagar dan ulama, hanya tersisa batu-batu berinskripsi Arab tak terurus. Hampir tidak ada informasi bermakna di kota kecamatan ini. Kota yang hilang dan tersesat.
Koto Tinggi, dekat Bukittinggi, seperti sebuah kota mati meski ini pernah menjadi ibu kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Hanya ada tugu besar dan sebuah bangunan kecil tempat terpampang susunan kabinet Syafruddin Prawiranegara. Bangunan kecil itu terlalu sederhana dan hanya bisa menjadi tempat pemungutan suara dalam pemilu 2009 tempo hari.
Rumah Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia, di Pandan Gadang, Kabupaten Limapuluh Kota, lapuk dimakan rayap dan usia. Tidak ada biaya untuk renovasi. Sebagian ruang menjadi sarang satu-dua burung walet. Cicit Tan Malaka berharap penjualan sarang burung walet bisa membiayai salah satu situs sejarah ini.
Di Banda Aceh, saya bertemu dengan Tarmizi Ahmad, seorang pegawai negeri yang punya hobi mengoleksi naskah kuno atas inisiatif dan biaya sendiri. Sebagian koleksinya, yang berusia seabad-dua abad antara, lain buku karya Nurruddin Ar-Raniry, hilang waktu tsunami. Dia tak bisa ikut Pameran Kebudayaan Aceh yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Agustus lalu, karena tak bisa membayar stan, dan memutuskan memamerkan koleksinya di rumah pribadi. Dia merasa lebih dihargai oleh pemerintah Malaysia, Singapura, dan Brunei ketimbang pemerintah Indonesia maupun Aceh.
Benteng Inong Balee, benteng laskar janda yang dipimpin Panglima Malahayati pada abad ke-18, terbengkalai tak terurus meski menempati sebuah bukit menghadap teluk yang indah tak jauh dari Kota Banda Aceh. Omo Hada, rumah tradisional Nias di Hilinawalo Manzingo, kusam dan lusuh. Bangunan berusia 300 tahun ini merupakan adi-karya arsitektur tradisional dari kayu dan tahan gempa. Penghuninya tak punya biaya untuk merawatnya. Bangunan ini masuk daftar 100 situs kuno yang terancam punah versi World Museum Watch tahun 2000.
Tengku Mohammad Fuad, salah satu ahli waris Kesultanan Riau di Pulau Penyengat, mengeluhkan rendahnya kepedulian pemerintah kepada situs, sejarah, dan khazanah sastra Melayu yang pernah berjaya di sini. Penyengat merupakan mata air sastra dan bahasa Indonesia modern, salah satunya lewat ketekunan Raja Ali Haji (1808-1873). Fuad masih menyimpan koleksi pribadi surat-surat dagang kuno yang kini hanya dilapis plastik untuk mengurangi laju kelapukan, antara lain kuitansi dan surat saham kepemilikan penambangan timah di Johor, Malaysia, bertahun 1917. Meski makam, masjid, dan mushaf Al-Quran abad ke-19 masih terawat bagus, Pulau Penyengat sudah kehilangan sebagian besar jejak sebuah kesultanan Melayu terbesar. Ironi di tengah ambisi Malaysia untuk menjadi pusat peradaban Melayu dunia di alam modern.
Pengabaian terhadap khazanah budaya digenapi dengan ketidakpedulian kepada khazanah alam yang potensial menjadi daya tarik wisata lingkungan (ecotourism). Kepulauan Mentawai adalah salah satu paradoks. Kekayaan hayati yang hebat, namun kemiskinan yang menyengat. Ini pulau yang dikenal dengan banyak flora-fauna unik alias endemik, sering disebut sebagai Madagaskar-nya Indonesia, mengilhami para ilmuwan dunia mencari konfirmasi teori evolusi Charles Darwin. Taman nasional di Pulau Siberut, yang diproklamasikan oleh UNESCO sebagai cagar biosfer warisan dunia, terbengkalai. Museum dan kantornya rusak serta roboh tak diperbaiki setelah gempa besar 2007.
Resor dan jasa wisata alam, seperti selancar dan trekking, di Mentawai (Sumatera Barat), Nias (Sumatera Utara), dan Simeulue (Aceh), lebih banyak diminati oleh orang asing ketimbang investor lokal maupun pemerintah. Belasan anggota kru sebuah televisi Prancis sedang membuat film tentang alam dan budaya Siberut ketika saya sedang berkunjung ke sana, Juli lalu.
Dan itu semua baru sebagian kecil saja kekayaan serta keragaman khazanah alam, sejarah, seni dan budaya yang kita sia-siakan. Indonesia, negeri kepulauan terbesar di dunia, tampak bodoh dan kerdil. Dilihat dari luar, minimnya kepedulian, kurangnya informasi dan pengetahuan tentangnya, menjadikan negeri ini sama muram dan kusamnya dengan Museum Bahari di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta.
Rendahnya tingkat kepedulian dibarengi dengan miskinnya keterampilan mengelola informasi dan dokumentasi. Informasi, dalam bentuk museum, buku, dan produk multimedia, adalah tulang punggung bisnis wisata. Meski Internet sudah demikian maju, demikian pula saluran komunikasi dan teknologi media, kita masih keteteran mengurus hal ini. Dan Malaysia tahu benar kelemahan Indonesia itu.
Negeri-negeri kecil seperti Malaysia dan Singapura sadar persis tak memiliki kekayaan alam dan budaya sekaya dan seberagam Indonesia. Mereka tak perlu memiliki Indonesia, cukup menjadi beranda dan pintu gerbangnya. Mereka menjadikan Indonesia sebagai "halaman belakang", atau dapur dari bisnis wisata besar, sementara mereka menjadi koki dan pemilik restorannya.
Emosi yang meledak-ledak, perang kata yang menggelora, caci-maki kekanak-kanakan, tidak akan mengubah keadaan. Justru kita akan kelihatan makin konyol. Lebih bagus jika energi sia-sia itu diubah menjadi gairah untuk mengubah sikap kita dalam menghargai khazanah alam, budaya, dan sejarah sendiri serta kemampuan untuk mengemasnya.
URL Source: http://www.korantempo.com/

Rabu, 26 Agustus 2009

Perang Pemasaran, Perang Daya Saing

PADA minggu yang sama, dua bangsa berang terhadap bangsa lainnya. Indonesia berang terhadap Malaysia karena masalah tari pendet, sedangkan Bolivia berang pada Peru karena pakaian nasional mereka (diablada) dipakai putri Peru dalam ajang pemilihan Miss Universe.

Hati boleh panas, pikiran menjadi tak menentu, dan amarah terjadi di mana-mana; tapi untuk menjadi pemenang diperlukan lebih dari sekadar tegur-menegur. Cuma dengan menjadi pemenanglah kita bisa menaklukkan arogansi negeri tetangga dan mengangkat harga diri bangsa. Saat diminta mengomentari soal ini,seorang pembaca menulis, “Kita sering tidak menyadari apa yang kita miliki, sebelum ia dicuri orang lain.” So, kenapa selama ini kita mendiamkannya?

Otak SDA

Setiap bangsa mempunyai pola pikir yang dibentuk oleh potensi alamnya. Jepang, misalnya, dibesarkan dalam alam keterbatasan dan kesulitan, praktis tanpa sumber daya alam sama sekali. Maka Jepang bukanlah bangsa penganut paradigma SDA (sumber daya alam).Mereka berevolusi menjadi bangsa kreatif, pencipta dengan kemampuan engineeringluar biasa.

Demikian pula dengan Jerman dan negara-negara lain. Namun, hal ini tidak terjadi di negara-negara Afrika tertentu yang juga miskin SDA. Mereka memang bukan penganut otak SDA, tapi tidak menemukan pintu keluar karena kemiskinan dan etos kerja fatalisme. Sebaliknya, sejumlah negara yang memiliki potensi SDA yang luar biasa justru memiliki pola pikir ”menguras kekayaan alam”.

Otak SDA adalah otak yang diberi kelimpahan potensi alam dan rasa mudah untuk memperoleh apa saja. Bagi bangsa penganut paradigma ini,kekayaan adalah sebuah warisan (wealth is inheritated). Kekayaan alam tinggal dipungut, dipisahkan dari tanah, langsung bisa dijadikan uang.

Meski berkelimpahan SDA dan sinar matahari, kita bukanlah bangsa pemalas.Kita tetap bekerja keras, namun kemudahan memperoleh hasil alam membuat kita sudah puas dengan sekadar memisahkan mineral dari perut bumi (extraction) dan menjualnya secara bulky. Dan kita pun paham, komoditas seperti ini harganya murah dan mengikuti supply-demand.

Cara berpikir SDA ini akhirnya merambah ke dalam komoditas dan nonkomoditas. Semuanya dijual serbamudah, menguras tanpa mengolah lebih jauh. Semua diambil secara massal dan nilai tambah hanya didapat dari warisan alam. Wealth is inherited (bukan well created), karena itu harganya menjadi murah dan mendatangkan pembeli dari mancanegara.

Paradigma SDA yang keliru akan mengabaikan pentingnya pendidikan, namun sangat mengedepankan kekuasaan yang akhirnya membentuk perilaku korupsi dan kolusi. Karena pendidikan tidak dianggap penting, maka teknologi tidak berkembang, value added creation tidak terjadi dan lambat laun kekayaan alam bangsa ini akan dikuasai bangsa lain yang lebih berorientasi pada pendidikan.

Tengoklah cost recovery yang dibebankan oleh perusahaan-perusahaan minyak asing yang telah disetujui pemerintah Indonesia. Rata-rata pegawai asing yang bekerja di Indonesia menggali potensi SDA kita mengambil gaji antara USD300.000 hingga USD500.000 (annual), sementara staf-staf lokal harus puas dengan hanya USD25.000 (annual).

Budaya SDA

Otak SDA akhirnya membentuk cara pandang dan budaya SDA. Karena segala sesuatu berkelimpahan, kita tidak pernah merasa kekurangan sampai kita melihat orang lain tampil lebih baik atau lebih kaya dari kita dan kekayaan alam kita. Budaya kesejahteraan SDA adalah budaya warisan, dan ini tecermin dalam pemasaran pariwisata.

Suatu bangsa yang tidak memiliki kekayaan alam,keindahan,dan kebudayaan tidak secara otomatis terperangkap dalam ketakberdayaan. Mereka hanya tidak memiliki warisan alam saja, karena itu mereka tidak memiliki beban ”warisan” kekayaan.Mereka yang berhasil keluar dari perangkap kesulitan memasuki cara berpikir kesejahteraan yang diciptakan (created wealth).

Lihatlah bagaimana mereka membangun bandar-bandar udara yang megah, bersih, fresh, penuh warna dan high tech. Rumah sakit yang canggih dan kualitas manajemen pengobatan atau pelayanan kesehatan yang modern. Kampuskampus world classdengan fasilitas belajar mengajar yang canggih.

Fasilitas belanja modern yang nyaman dengan variety product yang beragam. Fasilitas pertunjukan teater, musik, tempat bermain, museum, dan olahraga yang mampu mendatangkan bintangbintang kelas dunia. Semua mereka ciptakan dari ketidakadaan. Disusun runtut mulai dari kesan pertama di televisi, lalu ke bandara yang mengesankan aman dan tertib.

Dari keamanan kota yang bebas dari pungli dan preman, birokrasi yang profesional, serta pelayanan publik yang bagus. Dari standarstandar kesehatan, higienitas, penerbangan, dan seterusnya. Cara pandang dan kerja mereka berbeda dengan cara pandang kita yang dibesarkan dalam kultur warisan budaya atau kultur SDA.

Sumber daya manusia berlimpah dan akan ada terus.Kita beranggapan TKI dan TKW akan ada terus. Sementara mereka yang mengalami kelangkaan mengangkat nilai produktivitas SDM dengan pendidikan, teknologi, dan robot. Orangnya sedikit, tapi duitnya banyak; sementara kita menganut asas orangnya banyak,tapi duitnya sedikit dan ongkosnya murah.

Mengapa bisa begitu?

Karena itulah cara berpikir SDA.Kita tak merasa perlu melatih atau mendidik mereka.Tengoklah balai-balai latihan tenaga kerja yang dulu pernah populer di era Menteri Tenaga Kerja Soedomo. Kini semuanya terkesan tua dan nyaris mati. Lembaganya masih ada, tapi perannya kurus tak terurus.

Gemas kita semua melihatnya. Ini pekerjaan rumah (PR) buat kita semua, buat orang pusat dan orang daerah. Buat orang yang suka memuji dan mencaci maki, agar turun bekerja,bukan beretorika. Kalau ini didiamkan,tak mengherankan bila TKW dan TKI kita di luar negeri cuma dihargai murah, dikembalikan dan kadang disiasiakan majikan yang semenamena. Kalau mereka dididik dengan baik,maka mereka akan lebih berwibawa, lebih percaya diri, dan tidak mudah dipermainkan.Pada akhirnya martabat dan kebudayaan kita lebih dihormati.

Break The Cycle

Akhirnya sebuah PR yang besar harus segera dijalankan. Kita harus mulai breaking the cycle, memotong siklus, membongkar paradigma sumber daya alam dari cara berpikir inherited wealth menjadi created wealth. Coba renungi skor daya saing pariwisata, khususnya pada aspek human,cultural,and natural resources yang dikeluarkan badan PBB yang mengurusi pariwisata (UNWTO).

Di sana tertera Singapura menempati urutan ke-23 jauh di bawah Malaysia (peringkat ke-15). Masuk akal! Namun sungguh tidak masuk akal, Indonesia berada di posisi ke-40 yang artinya potensi SDA kita diakui jauh lebih buruk dari Malaysia dan Singapura.Kok bisa begitu? Mengapa Bapak-Ibu Menteri mendiamkannya saja?

Ini fakta/persepsi? Pertama-tama para pemimpin harus membuka matanya lebih dulu,bahwa bangsa ini tidak akan mungkin mencapai cita-cita kemerdekaan (yaitu kesejahteraan yang adil dan merata) semata-mata melalui warisan (alam dan kebudayaan).

Bangsa-bangsa yang sejahtera adalah bangsa yang mengais rezeki dari karya, dari bekerja cerdas dan inovasi. Inovasi hanya dapat dicapai melalui pendidikan yang terarah dan lahirnya para entrepreneur baru. Kita tidak cukup memiliki creative economy, melainkan juga butuh creative entrepreneur.

Itulah makna dari perang pemasaran antarbangsa, yaitu perang daya saing. Jadi janganlah menjadi bangsa yang reaktif, yang baru bereaksi kalau kekayaannya dicuri. Jadilah bangsa yang proaktif yang memimpin dengan strategi dan membangun keunggulan. Bagi saya, inilah pesan moral penting untuk siapa saja yang cinta Indonesia.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

Selasa, 25 Agustus 2009

Meriset bukan Sekedar Soal Dana, tapi Mental

Demi menambal biaya penelitian, para ilmuwan kita di sini harus jungkir balik. Ada yang patungan mendirikan kedai sate

Berbongkah batu alam tergeletak di dalam kardus di ruangan yang tak terlalu luas itu. Serbuk silika berwarna kuning, pasir besi, beberapa alat pemotong besi, dan pemisah magnet tampak berserakan di lantai berlapis kayu.

“Beginilah kalau sedang bekerja, berantakan,” ujar Dr Nurul Taufiqurochman, MEng, Jumat malam lalu. Di ruang berukuran 5 x 8 meter itulah peneliti fisika di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Puspiptek Serpong, Tangerang, ini melakukan riset teknologi nano.

Ruangan yang terletak di lantai dua Pusat Penelitian Fisika LIPI itu nyaris seperti kapal pecah. Sejumlah diktat dan proposal berserakan di atas meja. Beberapa unit komputer serta alat-alat eksperimen rakitan Nurul dan delapan stafnya juga belum dibereskan.

Malam itu, pria lulusan Kagoshima University, Jepang, ini menunjukkan kehebatan pemisah magnet temuannya. Nurul tak perlu terbang jauh ke luar negeri untuk membeli komponen alat itu karena tersedia di Glodok, Jakarta Barat.

Nurul memasukkan sejumput pasir besi ke alat tersebut. Setelah diputar, pasir yang mengandung besi oksida turun dan yang tak mengandung besi oksida menempel pada lempengan karet yang melengkung ke bawah.

Dari serbuk pasir yang telah dinanokan itu bisa dibentuk batangan besi dan tabung besi. Menurut Nurul, pasir besi sangat mudah dicari. “Sekilo paling cuma Rp 250. Kalau sudah dinanokan, bisa mencapai Rp 1 juta. Ini peluang bisnis untuk mengolah kekayaan alam Indonesia,” ujarnya.

Teknologi nano yang sederhana dan pengolahan yang tak rumit membuat pasir besi selanjutnya bisa diolah menjadi tinta printer seharga Rp 250 ribu.

Kekayaan alam Indonesia yang melimpah itulah yang membuat Nurul pulang kampung setelah 15 tahun kuliah dan bekerja di Negeri Sakura. Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 5 Agustus 1970, itu menyelesaikan S1-S3 teknik mesin di Kagoshima University atas biaya Habibie Center.

“Saya gemes banget. Apa yang mungkin orang lain tidak lakukan, saya bisa kerjakan. Makanya saya ingin di bengkel ini mestinya juga lahir Apollo berteknologi nano,” katanya seraya menunjuk sejumlah mesin.

Peraih Ganesha Widya Jasa Adiutama Award dari Institut Teknologi Bandung pada 2009 itu bersemangat menciptakan alat-alat baru berteknologi nano yang belum ada di dunia dari kekayaan alam Indonesia. “Di tangan saya dan tim, alat semacam ini harganya cuma Rp 5 sampai Rp 20 juta.” ujar Nurul sembari memperlihatkan milling gerak elips 3 dimensi yang difungsikan sebagai penghancur partikel nano.

Alat itu telah dipesan sebuah universitas di Malaysia. “Alat ini tidak ada duanya di dunia. Kalau yang sudah ada keluaran luar negeri hanya mengocok, namun kalau bikinan saya nggak hanya mengocok, tapi juga berputar.”

Tak banyak orang awam yang akrab dengan teknologi nano. Nanometer artinya satu per satu miliar meter. Sesuai dengan namanya, teknologi ini berkaitan dengan penciptaan benda-benda kecil, yang mencakup pengembangan teknologi dalam skala nanometer, biasanya 0,1 sampai 100 nanometer. Satu nanometer sama dengan sepersejuta milimeter.

Ayah enam anak ini yakin, dengan teknologi nano, bukan tak mungkin bebatuan alam diubah menjadi intan, berlian, dan logam. Untuk mengolah kekayaan alam menjadi sesuatu yang lebih dahsyat, Nurul yang di Jepang dikenal sebagai doktor bidang rekayasa material itu membentuk komunitas Masyarakat Nano Indonesia dan ia menjadi ketuanya.

Nurul juga dikenal sebagai sebagai penemu teknologi eliminasi kandungan timbel (Pb) pada logam kuningan melalui daur ulang. Teknologi yang dipatenkan di Jepang pada Mei 2003 itu membuat jutaan meter kubik limbah kuningan di Jepang menjadi barang berharga lagi.

Dengan segudang prestasi, ia sebenarnya bisa hidup mapan di Jepang. Namun, setelah menyelesaikan program doktor pada 2000, Nurul yang pernah setahun bekerja di perusahaan pipa, shower, dan aksesori kamar mandi Kyusutabuchi–memilih pulang ke Indonesia. Ia menolak tawaran menjadi pegawai di Jepang dengan gaji besar.

“Dulu, ketika saya masuk LIPI, hanya ada meja dan kursi. Lalu saya membuat alat sendiri. Sekarang ruangan sudah penuh dengan alat, sekitar sembilan sudah saya patenkan atas nama LIPI dan menyusul tiga lainnya nanti.”

Kini peraih predikat doktor cum laude itu masih mengembangkan nanosilika sejak 2004. Nanosilika ini sudah dipatenkan di Indonesia atas namanya pada Juli 2006. “Nanosilika bila dicampur dengan adonan semen dapat memperkuat beton dua kali lipat.”

Ia juga telah mematenkan alat peraga nano-edu pada Juni 2006. Jepang sudah membelinya 300 unit. Selain meneliti, Nurul dan kawan-kawan di komunitas Masyarakat Nano Indonesia membuka Bamboo Futsal, lapangan futsal di Jalan Raya Serpong, tak jauh dari kantornya. Malam itu Nurul dan istrinya mengajak mencicipi bakso di Resto Bamboo.

“Di sini kadang ide mengalir. Kami berdiskusi. Seusai main futsal, lalu makan bersama,” kata Nurul, yang melengkapi lapangan indoor itu dengan kedai makanan, seperti sate dan bakso semut Singosari racikan adiknya dari Malang, serta kedai minuman.

Nurul enggan menyebutkan omzet lapangan futsal itu dan berapa dana yang mengalir untuk bisnis teknologi nano. “Memang ada sebagian dari sini (usaha futsal) untuk pengembangan bisnis inkubasi nano partikel.”

Prestasi Nurul rupanya dilirik oleh Arab Saudi. Melalui surat, Raja Arab Saudi menawarinya bekerja mengembangkan teknologi nano di negeri kaya minyak itu. “Gajinya Rp 45 juta setiap bulan, tapi saya masih cinta Indonesia.”

Peneliti di bidang biomolekuler, Arief Budi Witarto, juga bekerja di ruangan sempit. Dalam tujuh tahun terakhir, ia berkutat di ruangan 4 x 5 meter di samping rumahnya di Kampung Sugutama, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat.

Sejumlah peralatan, seperti tabung ukur, tabung nitrogen, mikroskop, bahkan sebuah lemari es dua pintu untuk menyimpan bahan penelitian, menyesaki ruangan. Di dinding ruangan tergantung berbagai penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri. Sejumlah kliping wawancara Arief dengan sejumlah media tampak berebut tempat dengan alat-alat penelitian.

Tak ada alat penyejuk ruangan. Untuk menghindari terpaan sinar matahari, bagian depan bangunan ditutup dengan kerai bambu. Karena keterbatasan fasilitas, ia kerap harus menyewa laboratorium untuk penelitian karena ada bagian dari penelitian yang mesti memanfaatkan reaktor nuklir.

Arief belajar bioteknologi dari S-1 hingga S-3 di jurusan bioteknologi, Fakultas Teknik, Tokyo University of Agriculture and Technology, Tokyo, Jepang, pada 1991-2000.

Selama kuliah di Jepang, indeks prestasi kumulatifnya (IPK) memuaskan, yakni 3,54 (S-1), 3,89 (S-2), dan 4,00 (S-3). Dengan prestasi akademiknya itu, ia mendapatkan beasiswa dari berbagai lembaga, yakni Kementerian Riset dan Teknologi (S-1), Iwaki Glass Jepang (S-2), serta Ultizyme International Jepang dan Menteri Riset dan Teknologi (S-3).

Setelah lulus S-3 pada 2000, Arief menjadi research associate di School of Materials Science, Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST), Ishikawa. Namun, ia memutuskan pulang karena ingin mengembangkan ilmu bioteknologi-rekayasa protein yang masih sangat jarang di Indonesia pada 2002. Ia memilih bekerja di LIPI.

Selama di Indonesia, pria kelahiran Lahat, Sumatera Utara, 12 Mei 1971, itu sempat menjadi peneliti tamu di perusahaan bioteknologi enzim, Ultizyme International, Tokyo, pada 2004. Tiga tahun kemudian, ia menjadi peneliti tamu di Fraunhofer Institute for Molecular Biology and Applied Ecology, Aachen, Jerman.

Dengan latar belakang pendidikan dan profesi cemerlang, ia menggaet sejumlah penghargaan, di antaranya Peneliti Muda Indonesia Terbaik Bidang Ilmu Pengetahuan, Teknik, dan Rekayasa dari LIPI (2002); Satya Lencana Karya Satya 10 Tahun dari Presiden RI (2003); dan Technopreneur Award dari Fraunhofer Society dan German Academic Exchange Service, Jerman (2007). “Hadiah dari penghargaan-penghargaan itu saya tabung untuk mendanai riset sekarang,” kata Arief, yang tak menyesal pulang kampung.

Di Indonesia, Arief bisa melakukan penelitian sendiri. Obyek penelitian melimpah. Sayangnya, orang Indonesia kurang menghargai keahlian seseorang. Menurut dia, prestasi internasional tak menjamin seseorang bisa mendapatkan dana penelitian sehingga tak mendorong peneliti berprestasi yang sebenarnya. “Sering kali dana penelitian diberikan karena faktor kedekatan dengan penilai.”

Untuk mendanai risetnya, ia membantu penelitian di perguruan tinggi, menjadi konsultan pendidikan dan penelitian di perguruan tinggi serta lembaga penelitian. “Jadi tidak ada perasaan gengsi,” kata Arief, yang ingin kembali ke Jepang untuk menyegarkan pengetahuan dan keahlian terbaru.

Pada 2002-2007, Arief meneliti molecular farming produksi protein rekombinan untuk farmasi, terutama tembakau dan tanaman kantong semar. Selama periode ini, ia mendapatkan dana penelitian dari pemerintah lewat LIPI dan Menteri Riset dan Teknologi.

Sejak 2007, ia meneliti nano-bioteknologi pada virus demam berdarah untuk pengembangan vaksin dan obat demam berdarah. Salah satu penelitian didanai perusahaan bioteknologi Australia dan sudah dipresentasikan di Brisbane, Australia.

Ia melanjutkan penelitian itu dengan mengajukan proposal ke LIPI dan Menteri Riset dan Teknologi, tapi ditolak. Ia pun mendanai riset dari kocek sendiri dibantu fasilitas dan peneliti dari Litbang Departemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan Batan. “Alhamdulillah, bulan Agustus 2009 ini hasilnya mendapat perhatian dunia dan diundang untuk presentasi di Sydney, Australia.”

Tak mudah bagi Arief untuk menjalankan risetnya. Karena keterbatasan dukungan fasilitas laboratorium, ia melakukan penelitian di tempat lain dengan meninggalkan jam kerja. “Terancam sanksi disiplin kehadiran fisik di kantor yang minim, walaupun hasil penelitian tetap dipublikasikan dengan nama LIPI. Dilakukan di luar kantor karena di dalam kantor tidak ada pekerjaan. (Proposal) dana ditolak,” kata Arief, yang sangat yakin Indonesia memiliki potensi besar di bidang biomolekuler.

Dibanding ruangan Arief, ruang tempat Gunawan Setyo Prabowo–seorang peneliti satelit–lebih representatif. Bangunan berlantai dua di lingkungan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) di Jalan Cagak Satelit, Rancabungur, Kabupaten Bogor, itu terdiri atas empat ruangan. “Yang ini ruang steril, harus bebas dari debu,” kata Gunawan menunjukkan salah satu ruangan di lantai dua.

Setiap ruangan rata-rata berukuran 6 x 7 meter. Sejumlah penghargaan dan poster desain satelit yang tengah dirakitnya menghiasi dinding ruangan laboratorium.

Master dalam bidang teknik elektro dari Universitas Indonesia pada 2002 itu juga harus menghadapi kendala dalam penelitian, seperti sumber daya manusia Indonesia belum siap bekerja dengan sistem yang baik serta lemahnya dukungan infrastruktur. “Metode, peralatan, penghargaan yang kurang, koordinasi, dan banyak hal,” kata pria yang menyelesaikan S-1 jurusan fisika di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.

Untuk menekan biaya riset, pria kelahiran Wonosobo, 24 Juli 1967, ini bersama timnya mencoba membuat alat sendiri, tapi belum pernah diuji terbang. “Dengan melakukan proses produksi sendiri, biaya menjadi sangat murah,” kata Gunawan, yang menjabat Kepala Bidang Instrumentasi Wahana Dirgantara Lapan sejak April 2009.

* Dinukil dari Harian Koran Tempo Edisi 16 Agustus 2009, “Mendanai Riset dari Kerja Serabutan”

Selasa, 18 Agustus 2009

FREE Version of Flash Page Flipping

FREE Version of Flash Page Flipping

Shared via AddThis

Anda dapat mencoba untuk melakukan apapun yang Anda bayangkan dengan gratis FPF meskipun memiliki fitur yang lebih sedikit dibandingkan dengan versi yang lainnya.

Download Gratis FPF dan unzip it. Buka dengan Notepad Pages.xml di folder xml. Menulis nama Anda IMAGE (JPEG, GIF, dan PNG) atau SWF format file XML pada halaman (xml / Pages.xml)

Sebagai contoh,

Anda dapat membuat vertikal, horisontal atau persegi flipping buku. Anda tidak harus menggunakan dimensi 368x450 px sebagai demo online. Edit lebar dan tinggi oleh width = "400" height = "600" (ia harus menjadi sama dimensi halaman) dan mengedit item lain (untuk warna) di pages.xml file. Anda dapat menggunakan halaman yang lebih besar di FPF tetapi lebih baik untuk tidak menggunakan terlalu banyak dan besar ukuran halaman. Kami menyarankan Anda untuk terpisah menjadi beberapa bagian. Berkualitas baik untuk teks, Anda dapat menggunakan teks dalam SWF vectoral diformat halaman.



di xml / Pages.xml file.

Jika anda ingin 18 halaman FPF, tambahkan halaman ke xml / Pages.xml file. Seperti itu,


Merombak (menambah atau menghapus) halaman di halaman map.

Silahkan lihat di file FLA halaman sampel dari sumber di folder. File FLA mereka dapat memandu Anda seperti yang Anda inginkan. Jika Anda bukan pengguna lanjutan jangan mengubah nama atau path file. Anda dapat mengubah nama file Lang.txt dengan tombol. FPF bahasa file (txt / Lang.txt) mendukung banyak karakter khusus ketika kita dinyatakan sebagai tabungan. Pastikan Anda lakukan sesuai dengan ReadMe.txt file. Akhirnya anda dapat mempublikasikan (Salin semua file dan folder dalam "Free Version" folder dan paste ke direktori) ia secara offline (di CD, DVD, dll) atau online server.


Senin, 17 Agustus 2009

Kumpulan Ebook Kitab Kuning (FREE DOWNLOAD)

Perkembangan teknologi dan sistem informasi terutama melalui internet saat ini semakin menjangkau belahan dunia. Perkembangan itu menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan keilmuan dalam Islam. Dan saat ini sudah banyak website kalangan dunia Islam yang menawarkan dan memfasilitasi umat islam yang menghendaki tambahan wawasan keilmuan. Salah satunya adalah melalui ebook-ebook islam berupa Kitab-kitab klasik yang dulunya sangat jarang dimiliki oleh semua orang.

Karenanya, penulis mencoba menawarkan bagi para pembaca berbagai macam kitab kuning yang penulis kumpulkan dari berbagai situs Islam dengan berbagai kategori dan dalam bentuk Full Versi dari juz awal sampai akhir setiap kitabnya.

Silahkan klik link berikut bagi siapa saja yang berminat untuk mendownloadnya (GRATIS)

1. Kitab Tafsir dan kitab pendukungnya

Tafsir Ibnu Katsir

Ibnu Katsir

Tafsir An Nasafi

An-Nasafi

Tafsir Jamiu al-Ahkam

Al Qurtubi

Tafsir Mirahi al-Labid;

– Imam Nawawi

Tafsir Ayatu al-Ahkam;

– Imam Asshobuny

Tafsir fi Zilali al-Qur’an;

– Sayyid Qutub

Ahkamu al-Qur’an

Imam Syafi’I

Tafsir Durru al-Mantsur

Imam Suyuthi

Asbabu an-Nuzul

– Imam Suyuthi

Thobaqatu al-Mufassir

– Imam Suyuthi

Nasihk Mansukh

– Abdurahim bin Ibrahim

Qiraatu as-Sab’i

– Imam As Syathibi

Fadhailu al-Qur’an

– Ibnu Katsir

Ibrazu al-Ma’ani

Imam As-Syathibi

Adabu Hamlati al-Qur’an

– Imam Nawawi

2. Kitab Hadis

Shahih Bukhori

Imam Bukhori

Sahih Muslim

Imam Muslim

Mukhtasor Sahih Muslim

Imam Zakiyuddin

Sunan Abi Dawud

Imam Abu Dawud

Sunan Darimi

– Imam Darimi

Sunan Ibnu Majah

Imam Ibnu

Syarh Sunan Tirmidzi

Imam Tirmidzi

Musnad

Imam Syafi’i

Nihayah fi al-Fitan

– Imam Ibnu Katsir

Al-Muntaqa

– An-Naysabury

Hadits Arbain

– Imam Nawawi

Riyadus as-Sholihin

Imam Nawawi

Bulugu al-Maram

– Ibnu Hajar Assqalany

Sahih Ibnu Hibban

– Imam Ibnu Hibban

Lubabu al-Hadits

Imam As-Suyuthi

Al-Adzomah

– Al-Mubarokfuri

Al-Wukuf fi Shahih Muslim

– Ibnu Hajar Assqalany

Asbabu al-Wurud

Imam As Suyuthi

‘Ilail Hadits

Ar Razi

3. Kitab Fiqh

Ahkamu an-Nisa

– Imam Ahmad

Al-Muwattho

Imam Maliki

Al-Mudawanah

Imam Maliki

Risalah

– Imam Maliki

Al-Umm

Imam Syafi’i

Ar-Risalah

Imam Syafi’i

Al-Washit fi Al-Mazahib

– Imam Ghazali

Adabu Al-Fatwa

Imam Nawawi

Khulosatu al-Ahkam

Imam Nawawi

Raudatut Tholibin

– Imam Nawawi

Al-Adzkar

Imam Nawawi

Al-Wafa

– Ibnu Qayyim al Jauzi

Al-Fatawa

– Ibnu Qayyim al Jauzi

Qashidah

– Ibnu Qayyim al Jauzi

Ahkami al-Maulud

– Ibnu Qayyim al Jauzi

Risalah Tabukiyah

Ibnu Qayyim al Jauzi

Fadlu as-Sholat

Ibnu Qayyim al Jauzi

Zadu al-Maad

Ibnu Qayyim al-Jauzi

Hukum Taqlid

– As Syaukani

Kitabu al-Ijtihad

– Ibnu Katsir

Imam Arba’ah

– Ibnu Hajar Assqalany

Nukt fi Ibn Sholah

– Ibnu Hajar Assqalany

Tabyin al’Ujb fi Rajab

– Ibnu Hajar Assqalany

Tahzib wa Tahzib

– Ibnu Hajar Assqalany

Taqrib wa Tahzib

– Ibnu Hajar Assqalany

Risalah Fi ad Dima’

– Utsaimin

Syarah Minhaju at-Tholibin

Mahalli

Tuhfatul Iraqiyah

– Ibnu Taimiyah

Nihayatu az-Zain

– Al Jawi

4. Kitab Tauhid, Filsafat dll

Al Fawaid

– Ibnu Qayyim al Jauzi

Asraroru as-Sholah

Ibnu Qayyim al-Jauzi

Amalu al-Yaum wa al Lailah

– Ibnu Sina

Ihya’ Ulumuddin

Imam Ghazali

Asnafu al-Magrurin

Imam Ghazali

Nasihatu al-Mulk

– Imam Ghazali

Misykatul Anwar

Imam Ghazali

Bustanu al-Arifin

Imam Nawawi

Mustashfa

Imam Ghazali

Tahafutul Falasifah

– Imam Ghazali

Jaddid Hayatika

Muhammad Ghazali

Jawahiru al-Qur’an

Muhammad Ghazali

Jamau al-Ilmi

– Imam Syafi’i

Khashais Ali bin Abi Thalib

An Nasa’i

Khashaisu al-Kubra

As Suyuthi

Tamhidu al Farasy

- Assuyuthi

Uqudul Juman

– Assuyuthi

Mustahal ‘Uqul

– Assuyuthi

Syamailu as-Syarifah

– Assuyuthi

Kholqu Afa’ali al-‘Ibad

– Bukhari

Khulashoh Nabi

– At Thobari

Kitab Awail

– Imam Thabroni

Kitab Duafa’

– Daruquthni

Kitab Tawwabin

– Ibnu Qudamah

Sifatul Jannah

– Ibnu Khuzaimah

Sifatu an-Naar

– Ibnu Khuzaimah

Kitab Tauhid

– Ibnu Khuzaimah

Tajrid Asanidu al Kutb

– Ibnu Hajar Asqalany

Tadzkirah

Imam Qurthubi

5. Kitab Ushul Fiqh

Ushul Fiqh

– Abd Wahab Khallaf

Burhan Fi Ushul al Fiqh

– Yusuf Juwaini

Al Mankhul Fi Ilmi Ushul

Imam Ghazali

Al Ushul min Ilmi al Ushul

- Utsmaini

6. Kitab Lughah

Alfiyah

Assuyuthi

Syarah Matan Jurumiyah

– Muhyiddin

Asasul Balaghah

– Zamakhsyari

Nahwul Wadih

– Mustashfa Amin

Asrorul Balaghoh

Jurjani

Semoga bermanfaat …..