Rabu, 26 Agustus 2009

Perang Pemasaran, Perang Daya Saing

PADA minggu yang sama, dua bangsa berang terhadap bangsa lainnya. Indonesia berang terhadap Malaysia karena masalah tari pendet, sedangkan Bolivia berang pada Peru karena pakaian nasional mereka (diablada) dipakai putri Peru dalam ajang pemilihan Miss Universe.

Hati boleh panas, pikiran menjadi tak menentu, dan amarah terjadi di mana-mana; tapi untuk menjadi pemenang diperlukan lebih dari sekadar tegur-menegur. Cuma dengan menjadi pemenanglah kita bisa menaklukkan arogansi negeri tetangga dan mengangkat harga diri bangsa. Saat diminta mengomentari soal ini,seorang pembaca menulis, “Kita sering tidak menyadari apa yang kita miliki, sebelum ia dicuri orang lain.” So, kenapa selama ini kita mendiamkannya?

Otak SDA

Setiap bangsa mempunyai pola pikir yang dibentuk oleh potensi alamnya. Jepang, misalnya, dibesarkan dalam alam keterbatasan dan kesulitan, praktis tanpa sumber daya alam sama sekali. Maka Jepang bukanlah bangsa penganut paradigma SDA (sumber daya alam).Mereka berevolusi menjadi bangsa kreatif, pencipta dengan kemampuan engineeringluar biasa.

Demikian pula dengan Jerman dan negara-negara lain. Namun, hal ini tidak terjadi di negara-negara Afrika tertentu yang juga miskin SDA. Mereka memang bukan penganut otak SDA, tapi tidak menemukan pintu keluar karena kemiskinan dan etos kerja fatalisme. Sebaliknya, sejumlah negara yang memiliki potensi SDA yang luar biasa justru memiliki pola pikir ”menguras kekayaan alam”.

Otak SDA adalah otak yang diberi kelimpahan potensi alam dan rasa mudah untuk memperoleh apa saja. Bagi bangsa penganut paradigma ini,kekayaan adalah sebuah warisan (wealth is inheritated). Kekayaan alam tinggal dipungut, dipisahkan dari tanah, langsung bisa dijadikan uang.

Meski berkelimpahan SDA dan sinar matahari, kita bukanlah bangsa pemalas.Kita tetap bekerja keras, namun kemudahan memperoleh hasil alam membuat kita sudah puas dengan sekadar memisahkan mineral dari perut bumi (extraction) dan menjualnya secara bulky. Dan kita pun paham, komoditas seperti ini harganya murah dan mengikuti supply-demand.

Cara berpikir SDA ini akhirnya merambah ke dalam komoditas dan nonkomoditas. Semuanya dijual serbamudah, menguras tanpa mengolah lebih jauh. Semua diambil secara massal dan nilai tambah hanya didapat dari warisan alam. Wealth is inherited (bukan well created), karena itu harganya menjadi murah dan mendatangkan pembeli dari mancanegara.

Paradigma SDA yang keliru akan mengabaikan pentingnya pendidikan, namun sangat mengedepankan kekuasaan yang akhirnya membentuk perilaku korupsi dan kolusi. Karena pendidikan tidak dianggap penting, maka teknologi tidak berkembang, value added creation tidak terjadi dan lambat laun kekayaan alam bangsa ini akan dikuasai bangsa lain yang lebih berorientasi pada pendidikan.

Tengoklah cost recovery yang dibebankan oleh perusahaan-perusahaan minyak asing yang telah disetujui pemerintah Indonesia. Rata-rata pegawai asing yang bekerja di Indonesia menggali potensi SDA kita mengambil gaji antara USD300.000 hingga USD500.000 (annual), sementara staf-staf lokal harus puas dengan hanya USD25.000 (annual).

Budaya SDA

Otak SDA akhirnya membentuk cara pandang dan budaya SDA. Karena segala sesuatu berkelimpahan, kita tidak pernah merasa kekurangan sampai kita melihat orang lain tampil lebih baik atau lebih kaya dari kita dan kekayaan alam kita. Budaya kesejahteraan SDA adalah budaya warisan, dan ini tecermin dalam pemasaran pariwisata.

Suatu bangsa yang tidak memiliki kekayaan alam,keindahan,dan kebudayaan tidak secara otomatis terperangkap dalam ketakberdayaan. Mereka hanya tidak memiliki warisan alam saja, karena itu mereka tidak memiliki beban ”warisan” kekayaan.Mereka yang berhasil keluar dari perangkap kesulitan memasuki cara berpikir kesejahteraan yang diciptakan (created wealth).

Lihatlah bagaimana mereka membangun bandar-bandar udara yang megah, bersih, fresh, penuh warna dan high tech. Rumah sakit yang canggih dan kualitas manajemen pengobatan atau pelayanan kesehatan yang modern. Kampuskampus world classdengan fasilitas belajar mengajar yang canggih.

Fasilitas belanja modern yang nyaman dengan variety product yang beragam. Fasilitas pertunjukan teater, musik, tempat bermain, museum, dan olahraga yang mampu mendatangkan bintangbintang kelas dunia. Semua mereka ciptakan dari ketidakadaan. Disusun runtut mulai dari kesan pertama di televisi, lalu ke bandara yang mengesankan aman dan tertib.

Dari keamanan kota yang bebas dari pungli dan preman, birokrasi yang profesional, serta pelayanan publik yang bagus. Dari standarstandar kesehatan, higienitas, penerbangan, dan seterusnya. Cara pandang dan kerja mereka berbeda dengan cara pandang kita yang dibesarkan dalam kultur warisan budaya atau kultur SDA.

Sumber daya manusia berlimpah dan akan ada terus.Kita beranggapan TKI dan TKW akan ada terus. Sementara mereka yang mengalami kelangkaan mengangkat nilai produktivitas SDM dengan pendidikan, teknologi, dan robot. Orangnya sedikit, tapi duitnya banyak; sementara kita menganut asas orangnya banyak,tapi duitnya sedikit dan ongkosnya murah.

Mengapa bisa begitu?

Karena itulah cara berpikir SDA.Kita tak merasa perlu melatih atau mendidik mereka.Tengoklah balai-balai latihan tenaga kerja yang dulu pernah populer di era Menteri Tenaga Kerja Soedomo. Kini semuanya terkesan tua dan nyaris mati. Lembaganya masih ada, tapi perannya kurus tak terurus.

Gemas kita semua melihatnya. Ini pekerjaan rumah (PR) buat kita semua, buat orang pusat dan orang daerah. Buat orang yang suka memuji dan mencaci maki, agar turun bekerja,bukan beretorika. Kalau ini didiamkan,tak mengherankan bila TKW dan TKI kita di luar negeri cuma dihargai murah, dikembalikan dan kadang disiasiakan majikan yang semenamena. Kalau mereka dididik dengan baik,maka mereka akan lebih berwibawa, lebih percaya diri, dan tidak mudah dipermainkan.Pada akhirnya martabat dan kebudayaan kita lebih dihormati.

Break The Cycle

Akhirnya sebuah PR yang besar harus segera dijalankan. Kita harus mulai breaking the cycle, memotong siklus, membongkar paradigma sumber daya alam dari cara berpikir inherited wealth menjadi created wealth. Coba renungi skor daya saing pariwisata, khususnya pada aspek human,cultural,and natural resources yang dikeluarkan badan PBB yang mengurusi pariwisata (UNWTO).

Di sana tertera Singapura menempati urutan ke-23 jauh di bawah Malaysia (peringkat ke-15). Masuk akal! Namun sungguh tidak masuk akal, Indonesia berada di posisi ke-40 yang artinya potensi SDA kita diakui jauh lebih buruk dari Malaysia dan Singapura.Kok bisa begitu? Mengapa Bapak-Ibu Menteri mendiamkannya saja?

Ini fakta/persepsi? Pertama-tama para pemimpin harus membuka matanya lebih dulu,bahwa bangsa ini tidak akan mungkin mencapai cita-cita kemerdekaan (yaitu kesejahteraan yang adil dan merata) semata-mata melalui warisan (alam dan kebudayaan).

Bangsa-bangsa yang sejahtera adalah bangsa yang mengais rezeki dari karya, dari bekerja cerdas dan inovasi. Inovasi hanya dapat dicapai melalui pendidikan yang terarah dan lahirnya para entrepreneur baru. Kita tidak cukup memiliki creative economy, melainkan juga butuh creative entrepreneur.

Itulah makna dari perang pemasaran antarbangsa, yaitu perang daya saing. Jadi janganlah menjadi bangsa yang reaktif, yang baru bereaksi kalau kekayaannya dicuri. Jadilah bangsa yang proaktif yang memimpin dengan strategi dan membangun keunggulan. Bagi saya, inilah pesan moral penting untuk siapa saja yang cinta Indonesia.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar